Kontekstual Lokalisasi Kekuasaan dan Politik dalam Konteks Globalisasi (Review terhadap Pandangan John Harris dkk.) Indonesia masih Baik-baik Saja

Kontekstual Lokalisasi Kekuasaan dan Politik dalam Konteks Globalisasi

Globalisasi merupakan konsep yang popular pasca runtuhnya Uni Sovyet (Glasnost dan Perestroika), dan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi. Runtuhnya ideology yang tertutup dan majunya teknologi membuat penyebaran informasi dan interaksi antarnegara serta individu di dalamnya tidak terkendala oleh batas-batas fisik. Sehingga dunia di belahan manapun atau di pelosok mana pun terkoneksi secara cepat tanpa batas.

Globalisasi dan juga pesatnya perkembangan teknologi informasi setidaknya saat ini masih menjadi bahasan yang actual untuk menganalisis perpolitikan di Indonesia khususnya politik local. Sebagaimana kita ketahui, peristiwa reformasi yang kemudian mengubah tatanan politik Indonesia dari politik otoriter ke demokrasi, tidak lepas dari pengaruh kedua hal tersebut. Dalam konteks politik local, salah satu hal yang kemudian menarik untuk dianalisis adalah pendapat Harris, Stokke, Tornquist (2004), yang menyatakan bahwa dunia kontemporer dicirikan dengan globalisasi maupun lokalisasi politik. Istilah lokalisasi politik yang mereka gunakan diartikan sebagai lokalisasi kekuasaan dan politik negara terhadap sub nasional.

Harris dkk memulai analisisnya dengan menceritakan bahwa pada masa sebelumnya politik local biasanya hanya mendapat perhatian kecil dalam studi pembangunan. Dulu otoritas, identitas, serta asosiasi lokal dilihat sebagai ciri tradisional atau konstruksi Kolonial yang akan larut bersama modernisasi dan pembangunan negara pascakolonial. Alasan ini menurut mereka muncul kembali pada tahun 1990-an melalui analisis yang memotret globalisasi sebagai kekuatan yang membuat homogen, yang menyubordinasi rakyat dan negara di mana saja terhadap pasar global, dan dengan begitu menghapuskan kekhususan lokal. Pendapat ini menarikan untuk kita kaji, apakah arus globalisasi, perkembangan TI dan pasca reformasi yang terjadi di Indonesia, kemudian meminggirkan politik lokal atau melarutkannya dalam modernisasi? Sebab terkait analisis Harris dkk tersebut, mereka juga menyatakan bahwa proses globalisasi merupakan segi dunia kontemporer yang penting, kompleks, dan kontradiktif, yang mengintegrasikan beberapa negara, ekonomi dan masyarakat ke dalam jaringan arus global, sambil meminggirkan yang lain. Walaupun di sisi lain mereka juga menyatakan bahwa berlawanan dengan kepercayaan popular, globalisasi tidak berarti akhir dari negara-negara yang berkuasa dan dari politik, tetapi merupakan transformasi kekuasaan dan politik negara yang tidak pernah berakhir.

Dari konsepsi Harris dkk, kita mencoba menelaah fenomena politik local di Indonesia. Politik lokal di Indonesia saat ini dicirikan dengan era otonomi daerah. Pasca terjadinya reformasi, tuntutan untuk berbagi otonomi (kekuasaan) dari daerah mengemuka dengan deras. Sehingga di tahun 1999, lahirlah UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menyeimbangkan hubungan antara Pusat dan Daerah. Dalam UU ini, daerah memiliki kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Seiring dengan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung pada 2004, UU No. 22/1999 diganti dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Salah satu perubahan penting dalam undang-undang itu adalah ditetapkannya pemilihan daerah (pilkada) secara langsung. Pilkada langsung berjalan beriringan dengan pemekaran daerah. UU No. 32/2004 kemudian diganti dengan UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini menegaskan bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah, tanggung jawab tertinggi dari penyelenggaraan pemerintahan tetap berada di tangan pemerintah Pusat. Oleh karena itu, pemerintah pusat akan selalu melakukan supervisi, monitoring, kontrol, dan pemberdayaan agar daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal.

Dari perjalanan otonomi daerah di Indonesia yang dimulai sejak tahun 1999, kita mendapati bahwa lokalisasi kekuasaan dan politik negara terhadap sub nasional, sesungguhnya tidak berakhir. Negara dalam berbagai cara tetap dapat mengukukuhkan perannya terhadap sub nasional. Kekuasaan Negara dalam konteks politik dikejewantahkan dalam keseimbangan hubungan di antaranya, antara dua ‘mesin’ kekuatan yang besar yaitu eksekutif dan legislative. Dua kekuatan ini memiliki akar pada partai-partai yang menjadi mesin penggeraknya. Apabila mesin penggerak ini mampu berfungsi dengan baik dalam menerjemahkan keinginan masyarakat secara umum, maka equilibrium kekuasaan akan mampu berada pada titik yang kokoh, bahkan mampu menancapkan kekuasaannya tanpa gejolak yang berarti. Hal ini dapat kita ukur dari empat decade pemilihan presiden, dan pilkada yang relative dapat dilalui oleh Indonesia dengan baik, termasuk Pilpres 2019 ini.

Kekhususan local pun ternyata tidak hapus, tidak terpinggirkan oleh globalisasi dan larut bersama pembangunan. Saat ini justru, walau pun dinamika politik local diwarnai oleh persaingan-persaingan yang sangat dinamis dalam konteks pilkada, tetapi secara umum apabila ada gejolak di masyarakat masih bisa dikendalikan dengan baik oleh Negara. Sehingga tidak heran apabila Negara melalui Kementerian Dalam Negeri mengklaim bahwa secara umum, otonomi daerah telah berjalan dengan baik. Daerah-daerah dapat membangun dan menggali potensinya dengan menyerap dan melibatkan masyarakat. Dan dampaknya juga semakin bermekaran daerah-daerah otonom baru, yang hingga kini terdapat 542 daerah otonom, terdiri dari 34 provinsi, 415 kabupaten, dan 93 kota. Hingga tahun 2019, Kementerian Dalam Negeri menerima 314 usulan pemekaran daerah setingkat provinsi dan kabupaten/kota.

Dengan demikian, berkaca pada Indonesia saat ini, kontekstual lokalisasi kekuasaan dan politik negara, terimplementasi pada peran negara yang kuat yang bertransformasi pada kekuasaan sub nasional (pemerintah daerah). Pemerintah daerah sudah menjelma menjadi instrument kekuasaan negara yang memperlihatkan kemampuan dan loyalitas yang besar dalam mendukung politisasi yang diinginkan oleh negara. Selama Negara mampu menjalankan kebijakan-kebijakan yang lebih berpihak kepada kepentingan masyarakat banyak seperti dalam hal reformasi agraria, pajak progressif, pengembangan strategi pembangunan ekonomi yang lebih menjamin pemerataan serta pembangunan hukum ke arah penegakan hukum yang lebih tegas dan adil, maka sekali lagi lokalisasi kekuasaan dan politik Negara terhadap sub nasional berhasil. Oleh karena itu, Indonesia masih baik-baik saja. Jika pun ada hambatan dalam penyelenggaraan negara, hal tersebut terletak pada lemahnya kapasitas, baik personal, mau pun kelembagaan, yang masih dapat dievaluasi dan diperbaiki. (Palembang, 7 Agustus 2020)

Penulis Meita Istianda (meita@ecampus.ut.ac.id) Dosen FHISIP Universitas Terbuka

Daftar Pustaka

Harris, John; Stokke, Kristian; Tornquist, Olle. (2004). Politisasi Demokrasi: Politik Lokal Baru. Jakarta: Penerbit Demos. https://nasional.kompas.com/jeo/20-tahun-reformasi-catatan-perubahan-indonesia-di-bidangpolitik

Share Artikel ini :